Case Story - Prahara Gunung Kawi (Tim Aiwa) - Riddle Story Indonesia
News Update
Loading...

Selasa, 20 Agustus 2019

Case Story - Prahara Gunung Kawi (Tim Aiwa)

Case Story - Prahara Gunung Kawi (Tim Aiwa)

"Prahara Gunung Kawi"
Maker : Naufal Yoga W (Tim Aiwa)

Matahari merayap keluar dari ufuk timur cakrawala, dan memancarkan sinarnya yang hangat. Perlahan kabut yang menutupi lantai dan kanopi hutan mulai pudar, hilang dan kembali menjadi uap air di antara mega. Burung-burung kecil seperti Pleci, Prenjak, dan Perkutut bernyanyi riang memadukan suara menjadi harmoni pagi nan indah.
Suasana pagi yang cerah, nampaknya tak bertahan lama.

"Aaaaa!"
Sayup-sayup teriakan histeris terdengar diantara pepohonan. Suasana gunung kawi yang tenang dalam mistik, kini riuh seketika.


***
"Hoahm"
Aku membuka pagi dengan secangkir kopi yang kuseduh dengan air panas dari termos dalam batang bambu. Aroma kopi yang berpadu dengan aroma khas bambu menenangkan pikiran, seakan memijat satu demi satu sel syaraf di otakku.
Aku mulai mengangkat tubuh, lantas pergi ke sungai untuk melunturkan daki yang melekat.

"Itu! Itu dia orangnya!"
Dengan tubuh terendam dalam air, aku menggerakkan bola mata menuju sumber suara yang terdengar lantang. Di sana, nampak beberapa pemuda dan pria dewasa dengan parang dan kapak perimbas di tangan mereka. Mereka nampak bergerak kearahku.
"Dia biang masalahnya. Mbaurekso murka gara-gara dia!"
"Jadikan dia tumbal!"
"Gorok dia!"

Aku segera keluar dari air, lantas berlari setelah melihat gelagat tak menguntungkan. Namun terlambat, mereka sudah mengepungku.


Case Story - Prahara Gunung Kawi (Tim Aiwa)

"Hei, berengsek! Sampeyan ndak tahu aturan, ha?! Enak saja nginjak sajen."
Eh, kapan? Oh aku ingat, buah-buahan busuk itu kah?
"Maksud njenengan, buah-buahan yang busuk itu?"
"Kurang ajar! Gara-gara sampeyan ini, Marno meninggal."
"Lho, apa hubungannya dengan saya?"
"Bukannya sudah jelas? Mbaurekso marah dan membunuh Marno gara-gara sampeyan."

Tanpa kusadari, sebilah parang mengalungi leherku. Ah, aku benar-benar tak punya ide tentang hal ini. Yang harus kulakukan kini hanyalah menyelamatkan diri, dan membuktikan bahwa aku tak bersalah.

***
Fiuh, melelahkan sekali. Menumbangkan lima orang tanpa membunuhnya benar hal yang sulit. Tapi tak apalah, hitung-hitung juga sebagai latihan.

"Jadi, ini masalahnya bagaimana toh?" tanyaku sembari menjahit luka robek di perut.
"Jadi begini, Ki sanak. Setelah sampeyan nginjak sajen, mbaurekso marah dan memakan Marno," jawab seorang yang bernama Parno, kudengar dari panggilan mereka saat melakukan koordinasi serangan.

"Njenengan sendiri juga salah kalau begitu. Sudah tahu mbaurekso njenengan kasih buah busuk," pungkasku menahan tawa.

Jujur, aku adalah seorang yang skeptis. Bahkan, sejujurnya aku pun tak peduli jika sajen itu memakai buah yang bagus maupun buah busuk. Hanya saja, aku mengatakan hal tadi untuk memyelamatkan diri.

"Bisa saja saya yang malah dibantu mbaurekso buat mengalahkan njenengan." Mereka terdiam, lantas menatapku dengan tatapan malu.

"Nah, kalau begitu saya coba bantu biar jelas. Eh, tapi njenengan semua belum menceritakan tentang Marno, teman njenengan itu."
"Sebenarnya, kami sih senang saja dia meninggal. Lha wong dia itu tukang mabok, tukang judi, tukang togel, tukang palak lagi. Belum lagi, istrinya juga cantik. Lumayan kan kalau bisa dapat istrinya."
Oh fuck. Jawaban macam apa itu?
Eh, apa yang baru saja kulihat? Sosok berambut lebat dengan senyum lebar, siapaka--, maksudku makhluk apa dia itu?

***
"Mas, ini kertas apa?"
"Oh, bukan apa-apa."
Fiuh, nyaris saja. Barangku bakal hilang kalau kubilang itu LSD. Tenang saja, aku hanya menggunakannya untuk menenangkan diri, toh efeknya tak terlalu berarti bagiku.

"Berangkat sekarang?" tanya Marni, saksi mata yang menemukan Marno.
"Ya. Jauh kah?"
"Ndak, ndak terlalu jauh kok."

Gadis itu tidak berbohong. Hanya dalam waktu lima belas menit, kami sudah sampai. Aroma dupa yang kuat, berpadu dengan aroma alkohol dan anyir darah semerbak memenuhi hidungku, terlebih lagi saat berada di sekitar cairan atau apalah ini yang mirip dengan muntahan isi perut. Aroma alkohol tercium sangat kuat di sana. Suara gamelan jawa terdengar tipis di telinga, hampir berpadu dengan suara angin yang lembut berhembus.

Apakah benar jika makhluk 'lain' itu benar-benar ada?
"Mas!" ujar Marni menepuk bahuku. "Di hutan ndak boleh melamun. Nanti diculik mbaurekso."
"Eh, uh, iya."
Aku mulai mengamati sekitar. Potongan tangan dan kepala tergeletak di dekat ilalang. Kepala itu seakan menatapku sayu dengan kedua matanya. Dari pengamatanku, itu terputus karena ditarik. Tendonnya putus, dengan ujung-ujung kecil yang mencuat.
Kuakui, isi perut yang berhamburan terlihat cukup menjijikan. Untung saja pekerjaanku sebagai pembersih tempat kejadian perkara membuatku tahan dengan pemandangan seperti ini. Tapi entah lagi dengan Marni. Dia terlihat muntah-muntah di pohon beringin sana.

Botol ciu tergeletak tak jauh dari kolam darah. Arak jawa dengan konsentrasi alkohol tinggi, orang ini benar-benar sudah gila. Siapapun tahu jika konsentrasi alkohol yang tinggi bisa membunuh peminumnya, lantas apa yang orang dungu ini lakukan?
Aku menghela nafas panjang. Penyidikan ini tak akan dapat berjalan dengan cepat, mengingat aku hanyalah crime scene cleaner dan bukannya detektif. Bahkan deduksiku saja hanya bergantung pada keahlian medis yang kumiliki saat bekerja menjadi dokter selama tujuh tahun lampau. Dan lagi, mereka bisa saja berubah pikiran dan membunuhku sebagai tumbal.

Dalam bimbangnya pikiran, mataku tanpa sengaja tertuju pada potongan organ mirip hati manusia. Jaringan parut menyelubunginya, seperti yang kuperkirakan dari perkataan warga tadi.
Ah, kurasa ini akan sulit.

***
"Di daerah sini, akhir-akhir ini banyak kasus kematian seperti ini. Ini tergolong aneh, le. Mbah ndak tahu kenapa yang ini malah badannya sampai hancur. Biasanya cuma kepotong-potong."

Mbah Seno, tetua desa menjelaskan padaku tentang hal aneh yang sering terjadi.
"Mbaurekso mulai bosan dengan tumbal ayam. Sekarang mulai mencari tumbal manusia, yaitu tukang togel yang biasanya datang dari Kota." Pria tua itu menghisap cerutunya dalam, lantas menghembuskan asapnya. "Marno itu, sudah mbah kandhani, tetep aja ngeyel. Ditambah lagi njenengan tadi nginjak sajen, mbaurekso tambah marah."

Aku terdiam.
"Mbah tahu, maksudmu baik. Tapi akibatnya itu lho. Daritadi, kamu juga ngerasa ndak enak kan?"
Orang tua ini tahu yang kualami seharian ini, tapi bagaimana bisa?
Kuputuskan untuk tetap diam sembari menyelesaikan hal ini sendiri.
Bukannya aku terlalu percaya diri, tapi aku tak mau berurusan dengan polisi. Terlebih lagi, mereka memburuku atas kasus pembunuhan berencana terhadap atasanku. Lagipula, siapa suruh dia bertindak seenaknya? Dan juga, memecahkan hal ini sendiri akan membuatku disegani penduduk, membuatku dapat tinggal di desa ini dengan tenang selama beberapa tahun sebelum akhirnya kembali.
Ah, persetan lah.

***
"Wah, ini bulu celeng, kang!" ujar Sukijo, pemburu desa saat melihat bulu yang kubawa dari lokasi.

"Kalau saya dengar sih, mbaurekso memang bisa berubah jadi celeng. Barangkali itu punya mbaurekso."

Mau tak mau, aku harus mengiyakan perkataan Sukijo. Maksudku, bagaimana mungkin jejak babi hutan menghilang dalam rerumputan?
Pikiranku benar-benar bimbang.

"Seharian ini, desa dibuat gempar, kang. Yang pertama ladang yang rusak, yang kedua si Marno ini. Apalagi lokasinya berdekatan, cuma dipisah sama kumpulan ilalang dan pandan hutan. Yang ketinggalan di ladang juga sama, bulu celeng. Oh iya, tadi saya ke ladang sebentar, sekalian liat kondisi Marno. Saya lihat, jejak kaki di dekat Marno dan di ladang bentuk dan besarnya sama."

"Kang! Sampeyan disuruh datang ke rumah Mbah Seno!"

***
"Ada apa, mbah?"
"Si Jarwo. Dia bilang mau bilang sesuatu."
Mataku menatap sekilas pria tua berusia delapan puluhan tahun. Mataku menangkap sesuatu yang aneh dari orang ini.
"Pak, njenengan mau ngomong apa?"
Ia terdiam, menatapku dengan tatapan heran. Pria itu malah mengambil cangkir kopi dan hendak meminumnya, namun akhirnya jatuh dan tumpah tanpa disadarinya, bahkan ia masih menempelkan cangkir itu di bibirnya. Ia nampak berpikir keras, lalu diam sejenak dan mulai mencoba bicara.

"Aku, aku yang membunuh Marno. Aku yang memotong-motong dan menumbalkan dia buat mbaurekso, begitu juga dengan yang lain. Aku bahkan menyimpan mata mereka." Ia mengambil sesuatu dari kantongnya. Dia benar, itu bola mata.
Suasana hening seketika. Sesekali angin yang berhembus menimbulkan bunyi gemerisik daun yang mengisi kekosongan.
Ah, ini semakin pelik.

Kirim jawaban Anda di kolom komentar dan cocokan dengan FC Asli nya, Terima Kasih.

Happy Solving, everyone!



Tiada pembunuhan dalam kasus ini. Tiada unsur mistis dalam kasus ini. Penampakan dan suara yang dialami tokoh utama adalah efek dari LSD, bukan mistis. Perkataan Jarwo bahwa ia membunuh marno tidaklah benar. Jika benar, tulangnya akan patah sebelum putus, bukannya utuh dalam kondisi yang baik. Selain itu, tendon pada pergelangan tulang korban putus, bukannya terpotong. Selain itu, kepala korban utuh tanpa adanya bola mata yang diambil. Jarwo juga menderita demensia, bukan? Ada kemungkinan bahwa dia lupa akan korbannya, dan menganggap Marno sebagai korbannya.

Jika teliti, kita dapat menemukan bahwa kematian korban disebabkan oleh keracunan alkohol. Hal ini ditunjukan oleh barang bukti yang ada, yaitu botol ciu konsentrasi tinggi, muntahan isi perut beraroma alkohol kuat (kondisi ini sering ditemukan pada gejala toksikasi alkohol, terutama pada gejala akut, dimana kondisi ini seringkali berujung dengan kematian.). Dari kondisi hati korban yang dipenuhi dengan sel parut, korban menderita sirosis, yang seringkali disebabkan oleh konsumsi alkohol dalam jangka waktu panjang.

Mayat korban selanjutnya tergeletak dihutan, dan menjadi makanan dari babi hutan, yang selanjutnya pergi dan merusak ladang warga. Hal ini dibuktikan 


Comments


EmoticonEmoticon

PENGUMUMAN
Setiap sabtu dan minggu, reward pulsa untuk pengirim postingan #SangPujangga terbaik
Done