"Prahara Gunung Kawi"
Matahari merayap keluar dari ufuk timur cakrawala,
dan memancarkan sinarnya yang hangat. Perlahan kabut yang menutupi lantai dan
kanopi hutan mulai pudar, hilang dan kembali menjadi uap air di antara mega.
Burung-burung kecil seperti Pleci, Prenjak, dan Perkutut bernyanyi riang
memadukan suara menjadi harmoni pagi nan indah.
Suasana
pagi yang cerah, nampaknya tak bertahan lama.
"Aaaaa!"
Sayup-sayup
teriakan histeris terdengar diantara pepohonan. Suasana gunung kawi yang tenang
dalam mistik, kini riuh seketika.
***
"Hoahm"
Aku
membuka pagi dengan secangkir kopi yang kuseduh dengan air panas dari termos
dalam batang bambu. Aroma kopi yang berpadu dengan aroma khas bambu menenangkan
pikiran, seakan memijat satu demi satu sel syaraf di otakku.
Aku
mulai mengangkat tubuh, lantas pergi ke sungai untuk melunturkan daki yang
melekat.
"Itu!
Itu dia orangnya!"
Dengan
tubuh terendam dalam air, aku menggerakkan bola mata menuju sumber suara yang
terdengar lantang. Di sana, nampak beberapa pemuda dan pria dewasa dengan parang
dan kapak perimbas di tangan mereka. Mereka nampak bergerak kearahku.
"Dia
biang masalahnya. Mbaurekso murka gara-gara dia!"
"Jadikan
dia tumbal!"
"Gorok
dia!"
Aku
segera keluar dari air, lantas berlari setelah melihat gelagat tak
menguntungkan. Namun terlambat, mereka sudah mengepungku.
"Hei,
berengsek! Sampeyan ndak tahu aturan, ha?! Enak saja nginjak sajen."
Eh,
kapan? Oh aku ingat, buah-buahan busuk itu kah?
"Maksud
njenengan, buah-buahan yang busuk itu?"
"Kurang
ajar! Gara-gara sampeyan ini, Marno meninggal."
"Lho,
apa hubungannya dengan saya?"
"Bukannya
sudah jelas? Mbaurekso marah dan membunuh Marno gara-gara sampeyan."
Tanpa
kusadari, sebilah parang mengalungi leherku. Ah, aku benar-benar tak punya ide
tentang hal ini. Yang harus kulakukan kini hanyalah menyelamatkan diri, dan
membuktikan bahwa aku tak bersalah.
***
Fiuh,
melelahkan sekali. Menumbangkan lima orang tanpa membunuhnya benar hal yang
sulit. Tapi tak apalah, hitung-hitung juga sebagai latihan.
"Jadi,
ini masalahnya bagaimana toh?" tanyaku sembari menjahit luka robek di
perut.
"Jadi
begini, Ki sanak. Setelah sampeyan nginjak sajen, mbaurekso marah dan memakan
Marno," jawab seorang yang bernama Parno, kudengar dari panggilan mereka
saat melakukan koordinasi serangan.
"Njenengan
sendiri juga salah kalau begitu. Sudah tahu mbaurekso njenengan kasih buah
busuk," pungkasku menahan tawa.
Jujur,
aku adalah seorang yang skeptis. Bahkan, sejujurnya aku pun tak peduli jika
sajen itu memakai buah yang bagus maupun buah busuk. Hanya saja, aku mengatakan
hal tadi untuk memyelamatkan diri.
"Bisa
saja saya yang malah dibantu mbaurekso buat mengalahkan njenengan." Mereka
terdiam, lantas menatapku dengan tatapan malu.
"Nah,
kalau begitu saya coba bantu biar jelas. Eh, tapi njenengan semua belum
menceritakan tentang Marno, teman njenengan itu."
"Sebenarnya,
kami sih senang saja dia meninggal. Lha wong dia itu tukang mabok, tukang judi,
tukang togel, tukang palak lagi. Belum lagi, istrinya juga cantik. Lumayan kan
kalau bisa dapat istrinya."
Oh
fuck. Jawaban macam apa itu?
Eh,
apa yang baru saja kulihat? Sosok berambut lebat dengan senyum lebar, siapaka--,
maksudku makhluk apa dia itu?
***
"Mas,
ini kertas apa?"
"Oh,
bukan apa-apa."
Fiuh,
nyaris saja. Barangku bakal hilang kalau kubilang itu LSD. Tenang saja, aku
hanya menggunakannya untuk menenangkan diri, toh efeknya tak terlalu berarti
bagiku.
"Berangkat
sekarang?" tanya Marni, saksi mata yang menemukan Marno.
"Ya.
Jauh kah?"
"Ndak,
ndak terlalu jauh kok."
Gadis
itu tidak berbohong. Hanya dalam waktu lima belas menit, kami sudah sampai.
Aroma dupa yang kuat, berpadu dengan aroma alkohol dan anyir darah semerbak
memenuhi hidungku, terlebih lagi saat berada di sekitar cairan atau apalah ini
yang mirip dengan muntahan isi perut. Aroma alkohol tercium sangat kuat di
sana. Suara gamelan jawa terdengar tipis di telinga, hampir berpadu dengan
suara angin yang lembut berhembus.
Apakah
benar jika makhluk 'lain' itu benar-benar ada?
"Mas!"
ujar Marni menepuk bahuku. "Di hutan ndak boleh melamun. Nanti diculik
mbaurekso."
"Eh,
uh, iya."
Aku
mulai mengamati sekitar. Potongan tangan dan kepala tergeletak di dekat ilalang.
Kepala itu seakan menatapku sayu dengan kedua matanya. Dari pengamatanku, itu
terputus karena ditarik. Tendonnya putus, dengan ujung-ujung kecil yang
mencuat.
Kuakui,
isi perut yang berhamburan terlihat cukup menjijikan. Untung saja pekerjaanku
sebagai pembersih tempat kejadian perkara membuatku tahan dengan pemandangan
seperti ini. Tapi entah lagi dengan Marni. Dia terlihat muntah-muntah di pohon
beringin sana.
Botol
ciu tergeletak tak jauh dari kolam darah. Arak jawa dengan konsentrasi alkohol
tinggi, orang ini benar-benar sudah gila. Siapapun tahu jika konsentrasi
alkohol yang tinggi bisa membunuh peminumnya, lantas apa yang orang dungu ini
lakukan?
Aku
menghela nafas panjang. Penyidikan ini tak akan dapat berjalan dengan cepat,
mengingat aku hanyalah crime scene cleaner dan bukannya detektif. Bahkan
deduksiku saja hanya bergantung pada keahlian medis yang kumiliki saat bekerja
menjadi dokter selama tujuh tahun lampau. Dan lagi, mereka bisa saja berubah
pikiran dan membunuhku sebagai tumbal.
Dalam
bimbangnya pikiran, mataku tanpa sengaja tertuju pada potongan organ mirip hati
manusia. Jaringan parut menyelubunginya, seperti yang kuperkirakan dari
perkataan warga tadi.
Ah,
kurasa ini akan sulit.
***
"Di
daerah sini, akhir-akhir ini banyak kasus kematian seperti ini. Ini tergolong
aneh, le. Mbah ndak tahu kenapa yang ini malah badannya sampai hancur. Biasanya
cuma kepotong-potong."
Mbah
Seno, tetua desa menjelaskan padaku tentang hal aneh yang sering terjadi.
"Mbaurekso
mulai bosan dengan tumbal ayam. Sekarang mulai mencari tumbal manusia, yaitu
tukang togel yang biasanya datang dari Kota." Pria tua itu menghisap
cerutunya dalam, lantas menghembuskan asapnya. "Marno itu, sudah mbah
kandhani, tetep aja ngeyel. Ditambah lagi njenengan tadi nginjak sajen, mbaurekso
tambah marah."
Aku
terdiam.
"Mbah
tahu, maksudmu baik. Tapi akibatnya itu lho. Daritadi, kamu juga ngerasa ndak
enak kan?"
Orang
tua ini tahu yang kualami seharian ini, tapi bagaimana bisa?
Kuputuskan
untuk tetap diam sembari menyelesaikan hal ini sendiri.
Bukannya
aku terlalu percaya diri, tapi aku tak mau berurusan dengan polisi. Terlebih
lagi, mereka memburuku atas kasus pembunuhan berencana terhadap atasanku.
Lagipula, siapa suruh dia bertindak seenaknya? Dan juga, memecahkan hal ini
sendiri akan membuatku disegani penduduk, membuatku dapat tinggal di desa ini
dengan tenang selama beberapa tahun sebelum akhirnya kembali.
Ah,
persetan lah.
***
"Wah,
ini bulu celeng, kang!" ujar Sukijo, pemburu desa saat melihat bulu yang
kubawa dari lokasi.
"Kalau
saya dengar sih, mbaurekso memang bisa berubah jadi celeng. Barangkali itu
punya mbaurekso."
Mau
tak mau, aku harus mengiyakan perkataan Sukijo. Maksudku, bagaimana mungkin
jejak babi hutan menghilang dalam rerumputan?
Pikiranku
benar-benar bimbang.
"Seharian
ini, desa dibuat gempar, kang. Yang pertama ladang yang rusak, yang kedua si
Marno ini. Apalagi lokasinya berdekatan, cuma dipisah sama kumpulan ilalang dan
pandan hutan. Yang ketinggalan di ladang juga sama, bulu celeng. Oh iya, tadi
saya ke ladang sebentar, sekalian liat kondisi Marno. Saya lihat, jejak kaki di
dekat Marno dan di ladang bentuk dan besarnya sama."
"Kang!
Sampeyan disuruh datang ke rumah Mbah Seno!"
***
"Ada
apa, mbah?"
"Si
Jarwo. Dia bilang mau bilang sesuatu."
Mataku
menatap sekilas pria tua berusia delapan puluhan tahun. Mataku menangkap
sesuatu yang aneh dari orang ini.
"Pak,
njenengan mau ngomong apa?"
Ia
terdiam, menatapku dengan tatapan heran. Pria itu malah mengambil cangkir kopi
dan hendak meminumnya, namun akhirnya jatuh dan tumpah tanpa disadarinya,
bahkan ia masih menempelkan cangkir itu di bibirnya. Ia nampak berpikir keras,
lalu diam sejenak dan mulai mencoba bicara.
"Aku,
aku yang membunuh Marno. Aku yang memotong-motong dan menumbalkan dia buat
mbaurekso, begitu juga dengan yang lain. Aku bahkan menyimpan mata
mereka." Ia mengambil sesuatu dari kantongnya. Dia benar, itu bola mata.
Suasana
hening seketika. Sesekali angin yang berhembus menimbulkan bunyi gemerisik daun
yang mengisi kekosongan.
Ah,
ini semakin pelik.
Kirim jawaban Anda di kolom komentar dan cocokan dengan FC Asli nya, Terima Kasih.
Kirim jawaban Anda di kolom komentar dan cocokan dengan FC Asli nya, Terima Kasih.
Happy
Solving, everyone!
Tiada pembunuhan dalam
kasus ini. Tiada unsur mistis dalam kasus ini. Penampakan dan suara yang
dialami tokoh utama adalah efek dari LSD, bukan mistis. Perkataan Jarwo bahwa ia membunuh marno tidaklah benar. Jika benar, tulangnya
akan patah sebelum putus, bukannya utuh dalam kondisi yang baik. Selain itu,
tendon pada pergelangan tulang korban putus, bukannya terpotong. Selain itu,
kepala korban utuh tanpa adanya bola mata yang diambil. Jarwo juga menderita
demensia, bukan? Ada kemungkinan bahwa dia lupa akan korbannya, dan menganggap
Marno sebagai korbannya.
Jika teliti, kita dapat menemukan bahwa kematian korban disebabkan oleh keracunan alkohol. Hal ini ditunjukan oleh barang bukti yang ada, yaitu botol ciu konsentrasi tinggi, muntahan isi perut beraroma alkohol kuat (kondisi ini sering ditemukan pada gejala toksikasi alkohol, terutama pada gejala akut, dimana kondisi ini seringkali berujung dengan kematian.). Dari kondisi hati korban yang dipenuhi dengan sel parut, korban menderita sirosis, yang seringkali disebabkan oleh konsumsi alkohol dalam jangka waktu panjang.
Mayat korban selanjutnya tergeletak dihutan, dan menjadi makanan dari babi hutan, yang selanjutnya pergi dan merusak ladang warga. Hal ini dibuktikan
Jika teliti, kita dapat menemukan bahwa kematian korban disebabkan oleh keracunan alkohol. Hal ini ditunjukan oleh barang bukti yang ada, yaitu botol ciu konsentrasi tinggi, muntahan isi perut beraroma alkohol kuat (kondisi ini sering ditemukan pada gejala toksikasi alkohol, terutama pada gejala akut, dimana kondisi ini seringkali berujung dengan kematian.). Dari kondisi hati korban yang dipenuhi dengan sel parut, korban menderita sirosis, yang seringkali disebabkan oleh konsumsi alkohol dalam jangka waktu panjang.
Mayat korban selanjutnya tergeletak dihutan, dan menjadi makanan dari babi hutan, yang selanjutnya pergi dan merusak ladang warga. Hal ini dibuktikan