Case Story - KEMELUT PLANTAESIA (Tim VEGVISIR) - Riddle Story Indonesia
News Update
Loading...

Minggu, 08 September 2019

Case Story - KEMELUT PLANTAESIA (Tim VEGVISIR)


“KEMELUT PLANTAESIA”
Maker : Johan Azhary (Tim VEGVISIR)

PROLOG

Tahun 2040.
Negara Kesatuan Plantaesia dilanda bentrok berkepanjangan. Perlawanan masyarakat suku Aster, provinsi Plantaesia Tenggara kian memuncak. Tuntutan dan cita-cita mereka masih sama. Mereka ingin merdeka dan mendirikan negara mereka sendiri. Pasukan perang yang menamai diri mereka Komando Aster Merdeka telah berhasil menyusup lewat perbatasan menuju wilayah Timur Plantaesia. Perang saudara pun tak terelakkan, akibatnya banyak masyarakat sipil yang menjadi korban.
Tahun 2041.

Awal tahun, pemerintah akhirnya dengan berat hati melepaskan wilayah Plantaesia Tenggara. Keputusan itu diambil untuk mengakhiri peperangan panjang setahun terakhir yang sudah terlalu banyak memakan korban jiwa. Provinsi Plantaesia Tenggara pun beralih menjadi negara dibawah kepemimpinan militer. Negara itu diberi nama Asterland.
Tahun 2050.

Belum genap satu dekade memerdekakan diri, Negara Asterland dihadapkan dengan masalah di berbagai sektor. Pangan yang tidak tercukupi, pelayanan kesehatan tak diurus, angka kriminalitas meningkat setiap tahunnya. Negara ini di ambang kehancuran dibawah pemimpin militer yang rakus. Akibatnya, tercatat sudah lebih dari 2000 rakyat Asterland mengajukan permohonan untuk tinggal dan kembali menjadi warga negara Plantaesia. Banyak pro kontra yang terjadi antara menyetujui atau tidak kembalinya masyarakat suku Aster tersebut. Teriakan menolak paling keras disuarakan oleh masyarakat suku Agla, Plantaesia Timur. Alasannya jelas, mereka dendam kepada suku Aster yang sempat menduduki dan memerangi wilayah mereka pada masa-masa perjuangan kemerdekaan Asterland.
Tahun 2051.

Setelah melalui berbagai pertimbangan dan kontroversi, pemerintah akhirnya menyepakati pemberian izin tinggal dan menerima kembali lebih dari 2000 suku Aster sebagai warga negara Plantaesia. Dikarenakan wilayah asal mereka – Plantaesia Tenggara – sudah tidak ada lagi, pemerintah pun memutuskan untuk membangun pemukiman dengan bentuk rumah susun di atas lahan kosong. Rumah susun itu tersebar di berbagai wilayah Negara Plantaesia, kecuali Plantaesia Timur yang penduduk aslinya masih terikat dendam akibat perang saudara di waktu yang lalu. Waktu berlalu, sempat ada beberapa serangan dan teror yang didapat masyarakat suku Aster di berbagai wilayah pemukiman mereka, namun akhirnya pelaku berhasil ditangkap. Situasi dan keamanan negara Plantaesia kembali kondusif di tahun-tahun berikutnya.

***
BAB I : LEDAKAN KETIGA
Pagi, 18 Juli 2063. Ledakan besar terjadi di distrik 11 wilayah Plantaesia Utara, tepatnya di salah satu rumah susun khusus pemukiman imigran suku Aster. Dua bom telah diatur aktif di waktu yang bersamaan, diledakkan oleh sekelompok teroris yang belum pasti indentitas dan motifnya. 26 orang tewas seketika dan puluhan lainnya mengalami luka serius. Bukan yang pertama kali, ledakan ini adalah yang ketiga dalam waktu dua minggu. Ledakan pertama dan kedua terjadi di distrik 9 dan 13.

Pihak Humas Satuan Anti Teror (SAT) mengatakan bahwa saat ini penyelidikan belum banyak membuahkan hasil karena minimnya bukti dan petunjuk. Namun asumsi dan dugaan sementara pelaku adalah orang-orang lama atau masih ada kaitannya dengan kelompok teroris yang pernah beraksi 12 tahun lalu dengan motif dendam yang sama terhadap suku Aster. Dugaan itu bukan tanpa alasan, sebabnya target dari tiga ledakan yang terjadi belakangan adalah rumah susun khusus imigran suku Aster di tiga distrik berbeda di wilayah Plantaesia Utara.

Markas Besar Satuan Anti Teror Negara Plantaesia, 19 Juli 2063.
Tiga orang tengah berbincang dalam satu ruangan tertutup. Seorang pria paruh baya dengan fisik yang masih tampak bugar duduk nyaman di sofa single seat, mengenakan setelan jas rapi yang kancingnya dilepas. Dua orang lainnya pria mudah kisaran tiga puluhan duduk bersebelahan di sofa panjang, mengenakan seragam yang sama. Yang satu berwajah datar sementara yang lainnya tampak antusias.
Pria paruh baya sibuk membolak-balik dokumen yang disediakan di hadapannya. Isi dokumen itu ialah daftar identitas terpidana kasus terorisme 12 tahun lalu.

= Isi Dokumen =
Nama / Usia / Domisili
1. Asmir Lopa / 34 / Plantaesia Timur
2. Deka Geramo / 32 / Plantaesia Timur
3. Galang Danua / 26 / Plantaesia Timur
4. Hizam Lopa / 27 / Plantaesia Timur
5. Jenato Danua / 29 / Plantaesia Timur
6. Jalaut Geramo / 33 / Plantaesia Timur
7. Karelio Lopa / 31 / Plantaesia Timur
8. Lamot Penodu / 28 / Plantaesia Timur
9. Marko Penodu / 32 / Plantaesia Timur
10. Tio Rakami / 33 / Plantaesia Timur

Kesepuluh nama diatas ialah putra asli suku Agla yang berasal dari Plantaesia Timur. Mereka dinyatakan bersalah atas kasus terorisme dan bertanggung jawab atas peristiwa ledakan yang terjadi. Motifnya ialah dendam dan kebencian kepada suku Aster yang menyebabkan kekacauan di tanah kelahiran mereka, Plantaesia Timur. Kesepuluh pelaku adalah anak kandung dan keluarga dari korban tewas pada masa perang saudara.

= Akhir Isi Dokumen =
“Terima kasih Bapak mau menyempatkan diri untuk datang memenuhi undangan kami,” ucap si petugas berwajah datar.

“Ya, apalagi seperti yang kita tahu Bapak sedang sibuk-sibuknya mengurus persiapan pencalonan bapak sebagai cawapres,” timpal petugas yang lain.
Keduanya berlaku sopan, karena lawan bicara mereka bukan orang sembarangan. Dia adalah Suhandi Kartawijaya, seorang mantan kepala Satuan Anti Teror tempat mereka bertugas saat ini. Tujuh tahun terakhir ia sibuk mengembangkan bisnisnya yang berhasil memberikan sumbangsih ribuan lowongan pekerjaan bagi rakyat Plantaesia. Empat tahun berturut-turut ia menerima penghargaan sebagai pengusaha terbaik dan paling berkontribusi. Pada pemilu tahun depan, Suhandi diusung sebagai calon wakil presiden dari koalisi partai-partai besar.

Suhandi tersenyum. “Tidak apa. Ini sudah tugas saya, saya malah senang jika bisa membantu mengungkap otak dibalik teror ledakan yang terjadi belakangan ini. Saya juga sudah jengah, suasana di masyarakat mulai tidak kondusif. Takutnya akan ada yang terprovokasi dan mengakibatkan bentrokan. Yakin saya bahwa situasi itulah yang diinginkan para pelaku teror ini.”Kedua petugas mengangguk dan mulai menanyai Suhandi perihal kasus yang sedang mereka kerjakan.

“Baik, kita mulai saja. Ketika terjadi teror bom serupa 12 tahun lalu, bapak menjabat sebagai kepala Satuan Anti Teror. Bapak juga turut langsung memimpin pengungkapan kasus itu. Kami punya data pelaku dalam dokumen yang bapak baca tadi. Namun data itu sebatas nama, usia, dan domisili, kami tidak tahu kedudukan dan peran mereka dalam kelompoknya. Juga sangat disayangkan kami kehilangan data tentang hukuman apa yang dijatuhkan pada mereka waktu itu. Bisakah bapak jelaskan kepada kami?”
“Tentu,” jawab Suhandi cepat. “Nama-nama yang kalian tunjukkan tadi sudah benar. Kelompok itu berjumlah 10 orang, 1 orang kepala pasukan yaitu yang bernama Asmir, 2 orang berperan sebagai perakit bom bernama Jalaut dan Karelio, 2 lainnya berperan sebagai pengawal, Hizam dan Galang. Sisanya berperan sebagai eksekutor. Hukuman yang dijatuhkan pada mereka itu beragam. Kepala pasukan dihukum mati, 5 eksekutor dan 2 perakit bom dihukum penjara seumur hidup, 2 orang lainnya dihukum penjara sepuluh tahun.”

Kedua petugas terperangah dengan data yang baru mereka dapatkan dari Suhandi. Salah satu dari mereka mulai mencoret-coret dan menuliskan data tambahan pada dokumen tadi. Sementara yang satunya melanjutkan perbincangan.
“Kalau begitu, berarti hanya ada dua diantara mereka yang sudah menghirup udara bebas saat ini? Sementara yang lain masih dalam masa tahanan, dan ketua mereka sudah dieksekusi mati. Benar begitu, Pak?”

“Tepat sekali, dua diantara mereka yang sudah bebas adalah Hizam Lopa dan Galang Danua. Mereka divonis hukuman 10 tahun penjara sebab perannya tidak terlalu penting dalam kelompok tersebut. Jika kalian perhatikan nama belakang mereka, kalian akan sadar bahwa Galang adalah adik Jenato, salah satu eksekutor. Sementara Hizam adalah paling kecil dari tiga bersaudara, kakaknya Karelio sebagai perakit bom dihukum seumur hidup, sementara kakaknya tertua – Asmir – adalah kepala pasukan yang sudah dieksekusi mati. Itu cukup menjadi alasan mereka berdua untuk membalas dendam.”
“Lengkap sudah!” ucap petugas yang sebelumnya sibuk mencoret-coret dokumen. “Akhirnya kita menemukan garis besar dari kasus ini, kawan.” Ditepuknya bahu petugas di sebelahnya.

“Tapi itu semua masih asumsi,” sanggah Suhandi. “Hanya karena mereka punya alasan untuk balas dendam bukan berarti pasti merekalah pelakunya. Jangan gegabah, tapi saya sarankan kalian cari jejak kedua orang itu. Mereka satu-satunya kemungkinan tersangka yang kita punya sementara ini.”
“Kami mengerti, Pak. Terimakasih atas masukannya yang sangat berharga. Kami berhutang Budi pada Bapak.”

“Terimakasih kembali, saya senang bisa membantu penyelidikan ini. Jika berkenan kalian bisa mengabarkan saya kalau-kalau ada perkembangan terkait kasus ini kedepannya.”
“Siap, Pak.”

***
BAB II : DEMONSTRASI DAN PELARIAN
20 Juli 2063. Demonstrasi yang cukup besar terjadi di depan kantor pengurus pusat Partai Patriot Demokrasi yang berada di wilayah Plantaesia Pusat. Pergerakan masa dipimpin oleh organisasi masyarakat yang menamai diri mereka Bala Bantuan Hukum Rakyat (BBHR). Mereka terus melakukan demonstrasi sejak sebulan terakhir, namun yang kali ini paling banyak jumlah massanya. Tuntutan mereka kepada partai politik PPD adalah untuk membatalkan rencana pengusungan Pramana Suryatmajan sebagai calon presiden untuk pemilu tahun depan. Pramana Suryatmajan dinilai bukan sosok yang patriot, sebab sampai hari ini dia masih belum bertanggung jawab atas kerusakan lahan persawahan milik warga yang diakibatkan oleh limbah pabrik miliknya. 

Kejadian limbah pabrik yang menyemburkan lumpur itu memang sudah bertahun-tahun yang lalu, tapi sampai sekarang warga mengaku belum menerima ganti rugi sepeserpun. Kendati aktivitas pabrik itu sudah dihentikan sejak 5 tahun lalu, namun lumpur masih menyembur dan terus merusak lahan bahkan sampai ke pemukiman. Pramana Suryatmajan telah dikonfirmasi sudah bukan lagi pemilik yang sah, namun pihak BBHR yang mewakili para korban bersikeras untuk menuntut hak mereka pada Pramana, sebab ialah pemilik yang sah pada saat awal-awal kejadian.

Pramana menjual pabriknya 7 tahun lalu, keluar dari dunia bisnis lalu beralih ke dunia politik dan bergabung dengan Partai Patriot Demokrasi. Dua tahun berselang ia mendapat jabatan sebagai Menteri Koperasi dan UKM. Lewat kinerja dan gebrakannya yang sangat baik selama menjabat, ia pun terdaftar dalam bursa capres partai PPD. Tak main-main, elektabilitasnya yang dianalisa oleh berbagai lembaga survei sangat tinggi, lebih dari 40% responden memilihnya, 60% sisanya terbagi ke bakal calon lain. Koalisi PPD dengan partai-partai besar lain pun sepakat memasangkannya dengan Suhandi Kartawijaya sebagai wakil. Pasangan ini dinilai akan melaju dengan mulus sebagai pemimpin negeri ini 5 tahun ke depan. Namun adanya demonstrasi sebulan terakhir ini menjadi rintangan dan tantangan terhadap elektabilitas pasangan ini. Pro kontra pun mencuat di internal partai dan koalisi, ada yang mengusulkan untuk mencoret Pramana dan mencalonkan Suhandi sebagai capres, ada yang mengusulkan untuk mencoret keduanya dan mencari calon lain, ada pula yang kukuh untuk tetap mencalonkan keduanya sebagai pasangan. Semua usulan masih menjadi pertimbangan.

20 Juli 2063. Sebuah rumah tua di pinggiran Plantaesia Utara tampak hening dan tak berpenghuni, namun di dalam ada 7 orang pria yang tengah serius memandangi televisi. Televisi tengah menayangkan informasi terkini yang dibawakan seorang wanita.

“Pemirsa, Kepala Humas Satuan Anti Teror, Irjen Gunawan Ari baru saja mengungkap fakta baru terkait penyelidikan kasus terorisme yang telah menewaskan puluhan orang. Menurut keterangan Irjen Gunawan, tim khusus yang dibentuk untuk menangani kasus ini sudah mengantongi nama 2 orang terduga pelaku lengkap beserta identitas dan foto mereka. Kedua terduga ini pernah terlibat kasus serupa 12 tahun lalu dan sudah bebas. Pihak SAT kini tengah menyisir wilayah Plantaesia Utara untuk mencari keberadaan kedua orang ini.”

TV dimatikan, seorang pria berambut gimbal beranjak dari tempat duduknya. Ia berdiri tegap menghadap keenam pria lainnya yang kemudian memandanginya dengan raut serius.

“Tenang saja, mereka hanya mengenal aku dan Galang. Kalian tetaplah bersembunyi di sini, aku dan Galang mau tak mau harus berangkat malam ini juga. Kita tetap jalankan sesuai rencana, dan aku akan memberi arahan lewat WA saat waktunya tiba.”
“Tidak Hizam,” sanggah Galang. “Aku harus tetap disini bersama mereka, kalau tidak rencana kita akan gagal. Kau pergilah sendiri.”
“Kau akan tertangkap, Galang!” Hizam meninggikan nada bicaranya. “Mereka mengenalmu seperti mereka mengenalku juga. Kita tidak akan punya waktu lagi untuk kabur, jika bukan malam ini!”
Galang berdiri menghampiri Hizam, kemudian menepuk bahu kirinya.
“Tenanglah, aku jamin aku tidak akan tertangkap oleh anjing-anjing itu. Pergilah malam ini, kau harus cepat. Kami akan menunggu komandomu baru beraksi.”
Semenit berlalu dengan hening, Hizam kemudian menentukan sikap meski masih sedikit gamang.
“Baik, kau kuizinkan tinggal tapi berhati-hatilah. Kalian harus ingat apa tujuan kita, dan untuk siapa kita berjuang.”

***
BAB III : HILANGNYA HIZAM LOPA
Dini hari, 21 Juli 2063. Tim Satuan Anti Teror yang berjaga di wilayah perbatasan antara Plantaesia Utara dengan Plantaesia Timur melakukan penangkapan terhadap Hizam Lopa, terduga teroris yang kedapatan hendak menuju wilayah Plantaesia Timur lewat jalur hutan. 4 petugas Tim SAT langsung berangkat membawa Hizam dengan mobil angkutan khusus menuju markas besar di Plantaesia Pusat, sementara yang lain masih melakukan penjagaan di sekitar perbatasan. Informasi penangkapan itu hanya diketahui oleh pihak SAT dan orang-orang penting di sekitar mereka, sama sekali belum diberikan ke media manapun. Dan supaya tidak menarik perhatian, jalur yang diambil ialah jalur memutar yang sepi namun cukup memakan waktu lebih lama.
Siang, 21 Juli 2063. Seluruh stasiun televisi mengabarkan berita yang sama. Mobil angkutan yang membawa terduga teroris menuju markas besar Satuan Anti Teror meledak secara misterius. Lokasi ledakan berada di area jalur antar provinsi yang dikelilingi bukit dan perkampungan yang sangat sepi. Sudah dikonfirmasi bahwa penyebab ledakan tersebut ialah bom yang diaktifkan menggunakan pemicu jarak jauh. Namun belum bisa dipastikan apakah terduga teroris yang bernama Hizam Lopa itu ikut tewas bersama 4 petugas SAT yang membawanya, sebab anggota tubuh yang ditemukan berserakan di TKP sangat sulit untuk dikenali. Tim forensik masih melakukan upaya otopsi guna penyelidikan lebih lanjut.

Malam, 21 Juli 2063. Di dalam rumah tua tempat persembunyian teroris, Galang dan 5 komplotannya berkumpul di satu ruangan sembari memperhatikan ponsel masing-masing. Raut muka mereka tampak gusar, menunggu kejelasan kabar komandan mereka yang masih simpang siur. Media pun belum mengupdate info apa-apa setelah berita ledakan siang tadi.

“Ini sudah selesai. Kita semua selesai.” Seorang dari mereka yang berwajah pucat tiba-tiba bersuara.

“Maksudmu apa, Do?” tanya Dirga menanggapi ucapan temannya.
Rodo memandang lurus ke depan, tatapannya kosong. Dahinya berkeringat, lalu wajahnya semakin memucat.

“Bang Hizam sudah mati,” ungkapnya pelan. “Tidak ada lagi gunanya—”
“Kau jangan sembarangan bicara, Do!” potong Heri cepat. “Belum ada kepastian hidup atau matinya komandan kita. Bahkan anjing-anjing itu pun tidak yakin jasad siapa saja yang mereka temukan di TKP.”

Jefan menimpali, “Betul. Semua masih abu-abu. Jadi sebaiknya kita jangan berasumsi apa-apa dulu. Kita harus sabar sampai menemukan kepastian.”
“Sudahlah, aku mau pulang saja.” Rodo menunduk lesu.

“Sialan kau ini!” Wanda yang sedari tadi diam mendadak naik pitam. Ia meraih leher Rodo dan mencoba mencekiknya.

Rodo terkesiap, ia terlalu lemah untuk bisa lepas dari cekikikan Wanda yang bertubuh tinggi besar. Heri dan Jefan sigap menarik Wanda sembari mencoba menenangkannya.
Di tengah kemelut itu, tiba-tiba Galang memukul meja dengan sangat keras. Semua terdiam dan mendadak mengalihkan perhatian padanya.

“Belum berakhir, rencana kita masih seperti semula.” Galang menunjukkan ponselnya ke arah mereka. Ada pesan suara masuk lewat WA. Sumbernya dari Hizam Lopa, komandan mereka. Segera Galang memperdengarkan pesan suara itu kepada dirinya dan mereka semua.

“Kepada semua pasukanku yang gagah berani. Aku belum mati, dan aku tidak akan meninggalkan kalian semua. Aku sedang dalam persembunyian yang tidak bisa kusebutkan tempatnya. Tujuan kita masih sama, rencana kita akan terus berlanjut. Besok, berjuanglah sekali lagi. Aku akan mengirimkan lokasi spesifik target dan strategi lewat pesan teks. Apapun yang terjadi, tetap jalankan sesuai komandoku. Tetaplah bersatu, jangan sampai terpecah. Setelah aku mengirim strategi dan target, tolong jangan dulu mencoba menghubungiku via apapun. Maaf aku tak bisa bersama kalian saat ini. Tapi aku janji, kita akan dipertemukan kembali.”

***
BAB IV : TARGET TAK TERDUGA DAN ASUMSI BERTEBARAN
Pagi, 22 Juli 2063. Bom meledak di rumah pribadi Bana Mardani SH, kepala Bala Bantuan Hukum Rakyat yang terletak di kawasan perumahan distrik 9 Plantaesia Pusat. Rumah minimalis berlantai tiga itu porak poranda seketika, ledakan juga menewaskan seorang wanita yang dikonfirmasi sebagai pembantu rumah tangga. Istri dan anak-anak Bana Mardani sedang liburan di luar kota sejak dua hari lalu. Sementara ia sendiri mengaku tidak pulang dan menginap di kantor semalaman.

Tim Satuan Anti Teror belum bisa memastikan apakah pelaku teror bom ini adalah kelompok yang sama dengan yang sedang mereka buru. Kendati bom yang dipakai sama persis, namun target kali ini jelas berbeda dengan tiga ledakan sebelumnya yang mengincar pemukiman suku Aster. Bana Mardani bukan suku Aster, dan tidak punya relasi dekat dengan orang-orang mereka. Bana Mardani juga dikenal sebagai orang baik yang senang membantu rakyat kecil, dia orang yang membumi dan ramah, sehingga sangat jarang memiliki musuh. Ia malah banyak berteman dengan orang-orang penting, salah satunya Yudho Wicaksana, seorang jenderal purnawirawan yang namanya terdaftar di bursa capres dan akan diusung oleh koalisi partai-partai pesaing PPD.

Sore, 22 Juli 2063. Tim Satuan Anti Teror berhasil membekuk enam orang komplotan teroris yang tengah mencoba menjalankan aksinya. Komplotan teroris ini tadinya berniat meledakkan bom di kantor Bala Bantuan Hukum Rakyat yang berlokasi di distrik perkantoran Plantaesia Pusat. Namun mereka dijebak, dua jam sebelumnya seluruh penghuni kantor sudah dievakuasi ke tempat aman. Semua jadwal pertemuan dibatalkan supaya area betul-betul clear. Sementara tim gabungan antara Satuan Anti Teror dan Satuan Tentara Khusus sudah disiapkan untuk mengepung kantor itu ketika kelompok teroris masuk ke dalam. Tim SAT telah memperkirakan bahwa cepat atau lambat, kelompok teroris ini akan menargetkan kantor BBHR setelah pagi tadi meledakkan rumah pribadi pimpinannya.

Penangkapan ini spontan membuat seluruh wartawan berbagai media serempak menyambangi Mabes Satuan Anti Teror guna mendapatkan informasi yang akurat dan rinci. Akhirnya berita pun sampai ke hadapan masyarakat, seluruh penjuru negeri heboh. Sementara di media sosial muncul asumsi-asumsi bahwa ada konspirasi di balik semua ini.

Malam, 22 Juli 2063. Rumah dinas menteri koperasi dan UKM, Pramana Suryatmajan dijaga ketat oleh aparat. Penjagaan diperketat sebab banyak pergerakan massa yang mencoba menerobos masuk ke dalam rumah dinas tersebut. Ditengarai, massa ini digerakkan oleh BBHR yang termakan asumsi-asumsi yang marak di media sosial. Sejak sore tadi, tagar #Tangkap_PramanaSuryatmajan telah menjadi trending topik di berbagai platform. Beberapa tokoh penting politik ikut menulis opininya di akun-akun pribadi mereka.

Kepala Bala Bantuan Hukum Rakyat – Bana Mardani SH – yang diincar dua kali oleh kelompok teroris, menulis di akun Facebooknya :
“Hari ini saya diincar 2 kali, pagi tadi rumah pribadi saya diledakkan. Lalu sorenya giliran kantor kami yang menjadi target. Saya berterimakasih kepada semua jajaran Satuan Anti Teror yang telah berhasil menangkap kelompok teroris keparat yang mencoba meledakkan kantor BBHR. Saya tak bisa membayangkan berapa kerugian yang akan kami terima jika tim SAT tidak menggagalkan upaya mereka. Belum lagi data-data penting terkait kasus-kasus dan aduan yang bisa saja hangus.
Malam ini, kami mendapat informasi dari berbagai sumber yang tidak bisa kami sebutkan. Bahwa otak di balik teror ini adalah seorang pejabat penyelenggara negara, yang merasa langkahnya menuju pencalonan pilpres terhalang oleh fakta-fakta kesalahannya di masa lalu yang kami ungkap ke publik. Ia pasti kesal karena aibnya yang sudah sedemikian rupa disembunyikan tiba-tiba mencuat ke publik. Pejabat itu adalah Pramana Suryatmajan, kami meyakini dia lah dalang dan otak di balik peristiwa ini. Bagaimanapun kami meminta kepada seluruh massa pendukung untuk tidak melakukan tindakan-tindakan di luar hukum. Marilah kita menunggu proses penyelidikan oleh pihak berwenang. Untuk pihak kepolisian yang nantinya menangani penyidikan kasus ini, kami meminta keadilan yang seadil-adilnya. Dan untuk pihak pemerintah, kami harap tidak melakukan intervensi dan delegitimasi. Biarlah hukum berjalan seadil mungkin.”

Postingan Bana Mardani ini sudah dishare sebanyak ratusan ribu kali, bahkan dikutip dan diposting pada website resmi BBHR.

Yudho Wicaksana, jenderal purnawirawan yang akan menjadi salah satu pesaing Pramana Suryatmajan dalam pilpres tahun depan, menulis di akun Twitternya :
“Saya turut senang atas tertangkapnya kelompok teroris yang sudah banyak memakan korban, terutama saudara kita suku Aster. Saya terkejut tadi pagi ketika mendengar kabar di media bahwa rumah teman dekat saya, Bana Mardani menjadi sasaran ledakan bom. Untungnya beliau sekeluarga sedang tidak berada di rumah saat itu. Keterkejutan saya ternyata tidak sampai di situ, sorenya saya mendapat kabar lagi bahwa kelompok teroris sudah berhasil ditangkap ketika tengah berniat meledakkan bom di kantor BBHR, itu berarti Bana Mardani dua kali menjadi target kelompok itu di hari yang sama. Sampai malam ini, saya belum sempat bertemu dengan Bana, mungkin beliau juga masih sangat sibuk. Perihal benar atau tidaknya isu tentang Pramana Suryatmajan yang dituduhkan sebagai orang di balik layar, saya belum bisa berkomentar meski jika dipikir-pikir analisis yang di dunia maya sangat logis. Sekali lagi saya sangat prihatin atas semua kegaduhan yang melanda negeri kita ini, semoga kedepannya tidak ada kejadian serupa.”

***
BAB V : PENYIDIKAN
Dini hari, 23 Juli 2063. Di ruang kerja rumah dinasnya, Pramana Suryatmajan tengah berbincang dengan tamunya. Tamu itu adalah Rusli Zainal, teman masa mudanya yang kini bekerja di kepolisian. Pramana duduk di kursi kerjanya, sementara Rusli duduk di kursi satunya yang saling berhadapan dan dipisah oleh meja kerja yang lebarnya sekitar 2 meter.

“Rus, kali ini saja aku minta bantuanmu. Aku tahu kau ini cerdas, nalarmu tajam. Aku yakin kau bisa menyelesaikan kasus ini.”

“Pram, kau tidak perlu memelas begitu. Kau ini temanku yang paling berjasa di hidupku, maka tentu aku akan selalu ada ketika kau butuh apapun dariku.”

“Jika begitu, maka tolonglah aku. Aku akan membayarmu dengan balasan yang setimpal.”

“Tidak, tidak, itu tidak perlu Pram. Aku akan membantumu dengan sukarela. Hanya satu saja yang menjadi kendala. Aku tak bisa sembarangan mengajukan diri untuk bergabung dan mengambil alih kasus itu, atasanku belum tentu akan menyetujui. Apalagi jika mereka tahu aku punya hubungan denganmu.”

“Soal itu, kau tak perlu khawatir. Aku akan berupaya supaya kau diterima untuk menangani kasus itu. Nanti, kau cukup ajukan diri saja. Bagaimana?”

“Aku tak punya alasan lagi untuk menolak permintaanmu, Pram. Baiklah, pagi nanti aku akan langsung menemui atasanku.”

23 Juli 2063. MABES Satuan Anti Teror, Plantaesia Pusat.
Empat petugas kepolisian tengah berada di sebuah ruangan yang terhubung langsung dengan ruang interogasi. Mereka baru saja selesai menginterogasi keenam tersangka kelompok teroris satu-persatu, dan sedang menyusun laporan hasil interogasi itu yang masih belum membuahkan petunjuk. Pintu dibuka, seorang pria yang mereka kenali tiba-tiba masuk dan kemudian menutup lagi pintu itu.

“Selamat siang rekan-rekan sekalian. Saya Rusli Zainal, mulai hari ini akan mengambil alih dan memimpin penyidikan kasus terorisme ini. Rekan-rekan bebas memilih untuk tetap bergabung atau undur diri, jika memilih mengundurkan diri silahkan keluar dari ruangan ini.”

Keempat penyidik sontak kaget dengan pernyataan Rusli. Semenit kemudian seorang dari mereka melangkah keluar tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Tiga lainnya memilih bertahan.

“Baiklah, sudah sampai mana jalannya penyidikan ini?” tanya Rusli.
“Kami sudah menginterogasi keenam tersangka, namun pernyataan mereka membuat kami bingung, tak ada satupun yang mau mengaku dan menyebutkan nama yang membayar mereka untuk melakukan aksinya. Kesamaan yang kami temukan dari keenamnya adalah bahwa mereka sama-sama berasal dari Plantaesia Timur, putra asli suku Agla.”

“Ah, aku yakin kalian belum melakukan interogasi dengan benar. Bawa satu yang paling muda dari mereka ke ruang sebelah. Aku akan melakukan interogasi ulang. Kalian tak perlu ikut masuk, cukup diam dan perhatikan dari sini.”
Ruang Interogasi. Tersangka bernama Rodo duduk lesu dengan wajah pucat, seluruh anggota tubuhnya gemetar tak berani ia menatap wajah Rusli yang ada di hadapannya.
“Hei, jawab aku. Apa benar Hizam Lopa yang dinyatakan menghilang adalah komandan kalian?”

“Be– benar pak.”

“Lalu apakah kalian yang menyerang mobil angkutan yang membawa Hizam, dan membebaskannya?”

“Tidak. Kami juga terkejut saat mendengar kabar itu. Lalu, tiba-tiba malamnya kami menerima pesan suara dari bang Hizam.”

“Pesan suara? Seberapa yakin kalian bahwa itu memang suara Hizam?”

“Itu memang suaranya, hanya saja sedikit lebih berat. Nafasnya terengah-engah dan itu kedengaran jelas.”

“Apa yang dia sampaikan dalam pesan suara itu?”

“Dia meyakinkan kami untuk tetap menjalankan rencana semula, namun targetnya diubah ke dua titik. Pertama rumah pribadi yang tidak kami kenal siapa pemiliknya. Kedua, kantor BBHR yang juga kami tidak tahu itu instansi apa. Kami semua keheranan ketika membaca lokasi target yang dikirimnya lewat pesan teks itu, sebab tidak ada kaitannya dengan tujuan utama kami.”

“Tujuan utama, apa itu? Benarkah kalian dendam kepada suku Aster?”
Rodo tidak menjawab. Rusli pun tak memaksanya untuk menjawab, sebab sepertinya ia sudah memahami diamnya Rodo.

“Baiklah, apa kalian mengetahui dimana lokasi Hizam saat ini?”

“Tidak, kami tak sempat menanyakan itu, dia meminta kami untuk tak lagi mencoba menghubunginya untuk sementara waktu.”

“Jika memang sebegitu rahasianya, mengapa rencana kalian untuk meledakkan bom di kantor BBHR bisa tercium oleh Satuan Anti Teror? Apa kau mencurigai adanya penghianat di antara kalian?”

“Kami juga tidak tahu kenapa rencana itu bisa sampai ke Satuan Anti Teror. Tapi aku yakin itu bukan berasal dari kelompok kami. Tidak ada kata penghianatan dalam kamus suku Agla.”

***
BAB VI : KEPUTUSAN KOALISI
24 Juli 2063. Partai Patriot Demokrasi mengadakan rapat darurat yang dihadiri juga oleh ketua partai-partai lain yang tergabung dalam koalisi. Rapat ini tidak diselenggarakan di kantor pengurus pusat, sebab di sana telah padat oleh massa yang berdemo sejak pagi. Rapat akhirnya diadakan di ballroom hotel milik Suhandi Kartawijaya yang turut hadir. Pramana Suryatmajan tidak hadir dengan alasan sedang melakukan kunjungan kerja.

Poin utama dalam rapat ini adalah membahas perihal pembatalan rencana pengusungan Pramana dan Suhandi. Petinggi-petinggi partai koalisi merasa akan sangat dirugikan jika Pramana tetap dicalonkan. Elektabilitasnya sudah anjlok akibat isu yang terus berkembang. Bahkan kini semua kantor pengurus pusat partai pengusung ikut menjadi sasaran demonstrasi massa.

Keputusan harus diambil. Pemungutan suara pun dilakukan. Dari ketujuh partai, hanya satu yang ingin mempertahankan Pramana dan Suhandi. Dua partai memilih untuk mencoret kedua nama tersebut. Sementara empat partai lainnya memilih mencoret Pramana, namun mempertimbangkan untuk mengusung Suhandi sebagai calon presiden serta mencari nama lain sebagainya pendampingnya.

Usai rapat, Suhandi baru saja sampai di kamar pribadinya di hotel yang sama, ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Panggilan itu datang dari Pramana.
“Pram, apa kau sudah dengar keputusan rapat barusan?”

“Iya, aku sudah mendengarnya. Sudahlah Han, aku sudah merelakan semuanya.”
“Jangan begitu, Pram. Kendati keputusan sudah diambil, namun itu masih bisa berubah jika kau berhasil membuktikan atau setidaknya meyakinkan publik bahwa kau tidak bersalah. Aku akan membantumu sebisa mungkin, hanya saja kau jangan menyerah.”
“Aku mengerti. Maaf, aku harus tutup teleponnya. Nanti aku hubungi lagi.”
“Baik, hubungi saja aku jika kau perlu bantuan apapun.”
“Iya, Han. Terimakasih.”

Pembicaraan berakhir, Suhandi meletakkan ponselnya di atas meja kerja. Namun semenit kemudian diambilnya lagi. Ia hendak melangkah keluar karena merasa ada yang aneh. Seperti ada yang sedang mengamatinya di kamar itu.

***
BERSAMBUNG       

Kirim jawaban Anda di kolom komentar dan cocokan dengan FC Asli nya, Terima Kasih.


BAB VII : KONKLUSI FINAL

Suhandi menepis halusinasinya dan mencoba menenangkan diri. Ia kemudian mengetikkan nomor di ponselnya untuk dihubungi.

“Dengar baik-baik, semua rencanaku telah berjalan mulus. Sekarang sudah waktunya kau habisi nyawa Hizam Lopa dan pastikan jasadnya tidak pernah ditemukan. Aku sudah tak membutuhkan dia lagi. Uang yang sudah aku janjikan akan segera meluncur ke rekening kalian semua. Siap-siaplah kau jadi orang kaya. Setelah ini, pergilah jauh-jauh ke manapun kalian mau. Asal jangan pernah bertingkah seolah kalian mengenalku. Anggap saja kita tak pernah bertemu. Sampaikan itu pada anak buahmu juga.”

Usai mengatakan itu, Suhandi menutup teleponnya kemudian mendudukkan diri di sofa. Perlahan sebuah senyum tersungging di bibirnya. Senyum itu ialah senyum kemenangan, Suhandi merasa senang karena segala upaya yang dilakukannya untuk menghancurkan reputasi Pramana telah sukses. Ia lalu teringat ketika pertama kali diundang oleh Satuan Anti Teror untuk membantu mereka melakukan penyelidikan. Suhandi memanfaatkan sumbangsihnya dalam penyelidikan, untuk mendapatkan informasi dari salah seorang penyelidik SAT yang merasa berhutang budi. Ia meminta dikabarkan secepat mungkin jika ada perkembangan apapun terkait kasus itu.

Gayung bersambut, tanggal 21 Juli 2063 dini hari, Suhandi mendapat telepon mendadak dari penyelidik itu. Ia mengabarkan penangkapan Hizam Lopa di wilayah perbatasan, dan akan dibawa menuju markas besar SAT. Ketika itulah muncul pikiran picik di kepala Suhandi. Ini kesempatan yang sangat baik yang diberikan oleh Tuhan, pikirnya kala itu. Suhandi kemudian membujuk penyelidik itu agar mau memberitahukan jalur mana yang dilewati mobil yang membawa Hizam. Ia meyakini bahwa Hizam Lopa adalah pimpinan dari kelompok teroris itu. Jika ia bisa mendapatkan Hizam, maka anggotanya pun akan bisa dimanfaatkan untuk menjalankan rencananya.

Setelah mendapat kepastian, Suhandi pun menghubungi kelompok pembunuh bayaran profesional bekas tentara untuk menculik Hizam Lopa yang sedang dalam perjalanan. Penculikan itu berhasil dilakukan, keempat petugas yang membawanya ditembak mati di tempat. Mobil diledakkan untuk mengaburkan fakta-fakta di TKP. Suhandi kemudian menyambangi tempat dimana Hizam disembunyikan, ia mengintimidasi Hizam dan memaksanya memberikan segala informasi yang ingin dia ketahui.

Hizam juga dipaksa untuk mengucapkan teks yang disodorkan Suhandi. Ucapan itu direkam menggunakan ponsel milik Hizam dan dikirimkan kepada salah satu komplotannya. Suhandi sengaja mengalihkan target untuk membuat publik berasumsi dan menuduh Pramana sebagai dalang. Tak hanya itu, Suhandi juga membayar orang untuk mengirimkan informasi ke markas SAT tentang rencana para teroris meledakkan kantor BBHR. Alhasil, kelompok teroris itu pun dibekuk oleh tim Satuan Anti Teror.

Malamnya, apa yang diinginkan Suhandi pun terkabul. Media sosial ramai oleh asumsi-asumsi yang menyalahkan Pramana Suryatmajan. Bahkan warganet menggaungkan tagar untuk menangkap menteri koperasi dan UKM itu. Puncaknya, hari ini koalisi partai-partai yang mengusung mereka berdua akhirnya memutuskan untuk mencoret Pramana dari pencalonan. Keempat ketua partai yang ia janjikan suntikan dana pun mengusulkan untuk mempertimbangkan dirinya agar diusung sebagai calon presiden.

Suhandi masih merenungkan kemenangannya, ketika sudut matanya menangkap seorang pria menodongkan pistol ke arahnya. Pria itu adalah Rusli Zainal.

“Suhandi Kartawijaya, anda ditahan atas penculikan tahanan serta perencanaan peledakan bom di dua tempat. Pembicaraan anda di telepon barusan sudah kami rekam untuk menjadi barang bukti. Saya harap anda kooperatif dan tidak melakukan perlawanan.”

Setelah itu tiga orang petugas lain masuk, Suhandi diborgol dan dibawa ke mobil tahanan. Sehari kemudian penangkapan itu sudah tersebar ke seluruh penjuru negeri. Nama baik Pramana sudah kembali, dan koalisi partai pengusung batal mencoretnya dari pencalonan. Sementara Suhandi merenungi nasibnya di dalam tahanan. Ia menyesali perbuatannya, namun semua sudah terlambat. Ia harus mempertanggungjawabkan semua apa yang sudah ia perbuat.

*

TAMAT


Comments


EmoticonEmoticon

PENGUMUMAN
Setiap sabtu dan minggu, reward pulsa untuk pengirim postingan #SangPujangga terbaik
Done